Menurut kisah legenda, konon pada zaman
dahulu kala, disebutlah Nian yaitu seekor raksasa pemakan manusia dari
pegunungan (atau dalam ragam hikayat lainnya, dari bawah laut), yang
muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan
bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri mereka, para penduduk
menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa
melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan
dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil Panen.
Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah
bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna
merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah,
sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan
menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu.
Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat
pengurisan Nian ini kemudian berkempang menjadi perayaan Tahun Baru. Guo
nian yang berarti “menyambut tahun baru”, secara harafiah berarti
“mengusir Nian”. Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke
desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang Pendeta
Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.
Sejarah penanggalan tahun baru cina atau Imlek, penggagasnya adalah
Huang Di atau Kaisar Kuning yang memerintah (2698-2598 SM), beliau
disamping seorang Raja Agung juga seorang Nabi dan sekarang disebut
Bapak Ilmu Pengetahuan, karena pada jamannya paling banyak menciptakan
penemuan-penemuan baru dan peradaban dunia dimulai pada jaman itu.
Sistem penanggalan karya Huang Di ini, kemudian diterapkan oleh pendiri
Dinasti Xia (2205-2197 SM) dengan Kaisar bernama Da Yu, yang juga
merupakan salah satu Nabi dalam agama Khonghucu, namun ketika Dinas Xia
jatuh diganti Dinasti Shang (1766-1122 SM), Dinasti Shang penanggalannya
diganti dengan sistem penanggalan Shang. Ketika Dinasti Shang runtuh
dan diganti oleh Dinasti Zhou (1122-475 SM) sistem penanggalan juga
diganti dengan sistem penanggalan Zhou. Sejak Dinasti Zhou jatuh,
terjadilah jaman perang berlangsung sekitar 254 tahun. Setelah itu baru
mulailah berdiri Dinasti Qin (221-207 SM) dengan Kaisar bernama Qin Shi
Huang dan sistem penanggalannya dirubah lagi. Jadi boleh dikatakan di
daratan Tiongkok pernah memakai 4 macam sistem penanggalan dari jaman
Dinasti Xia sampai dengan Dinasti Qin.
Adalah Khonghucu yang hidup pada tahun (551-479 SM), beliau hidup pada
masa Dinasti Zhou (1122-475 SM). Waktu itu beliau melihat masyarakat
mayoritas hidup dari pertanian, maka sistem penanggalan Dinasti Xia-lah
yang paling baik dan cocok, karena awal tahun barunya jatuh pada awal
musim semi, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pertanian.
Saat itu Khonghucu menyarankan agar negara kembali menggunakan kalender
Dinasti Xia, namun nasihat bijak itu tidak digubris pemerintahan waktu
itu. Maka beliau bersabda dalam Sabda Suci XV : 11 berbunyi. “Pakailah
penanggalan Dinasti Xia”. Dan sabda tersebut disosialisasikan oleh para
murid-muridnya. Setelah runtuhnya Dinasti Qin, berdirilah Dinasti Han
(206 SM- 220 M) oleh Kaisar Han Wu Di (140-86 SM), tepatnya tahun 104
SM, sistem penanggalan Xia diresmikan sebagai penanggalan Negara dan
tetap digunakan hingga saat ini. Untuk menghormati Nabi Khonghucu,
penentuan perhitungan tahun pertamanya dihitung sejak tahun kelahiran
Nabi Khonghucu dan Agama Khonghucu ditetapkan sebagai agama Negara
(state religion). Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Cina jatuh pada
tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai
20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin
harus terjadi di bulan 11, yang berarti Tahun Baru Cina biasanya jatuh
pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan
kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat). Di budaya
tradisional di Cina, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya
musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari.
Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze atau Konfusius)
dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao yang berarti
agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur.
Khonghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya
menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti
apa yang beliau sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan
ajaran-ajaran kuno tersebut”. Meskipun orang kadang mengira bahwa
Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan
moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami
secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama Khonghucu, maka orang
akan tahu bahwa dalam agama Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual
yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Khonghucu juga
mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut
“Ren Dao” dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang
Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah
“Tian” atau “Shang Di”.
Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun
551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak
sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika
berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah,
kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini.
Ia meninggal dunia pada tahun 479 SM. Konfusianisme mementingkan akhlak
yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan
manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat
nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini
merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia
bertingkah laku. Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah
keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah
barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang
dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha
memperbaiki moral.
Di Indonesia selama 32 tahun (1966-1998), perayaan tahun baru Imlek
dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14
Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto,
melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya adalah Tahun Baru
Imlek. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia baru kembali
mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika
Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14/1967.
Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan
mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002
yang meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Mulai
tahun 2003, Tahun Baru Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari
libur nasional.
Tahun baru imlek selalu diikiuti oleh pertunjukan tari barongsai, namun
apakah tarian itu terkait dengan mitos mahluk raksasa Nian diatas,
agaknya tidak demikian . Kesenian Barongsai mulai populer di zaman
dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan
dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja
Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que
membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu.
Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda.
Namun bukan berarti masa keemasan pemerintahan meninggalkan jejak
budaya dan kesenian yang melekat pada bangsa Cina. Dinasti Ming
merupakan sebuah dinasti yang sangat berperan dalam sejarah Tiongkok,
rintangan-rintangan besar terhadap perkembangan peradaban terbentuk di
masa ini. Pada masa itu, para wanita dipaksa mengecilkan kakinya dengan
cara dibalut dengan paksa, mempraktikkan falsafat Confusius secara
menggila yang menyimpang jauh dari budaya yang diwariskan oleh para
dewa. Sida-sida (kasim) diberlakukan dalam istana, menjalankan peraturan
takhayul, menciptakan sistem spionase yang menelan biaya besar, untuk
mengintervensi istana kerajaan, mengontrol pejabat dan menindas rakyat
kecil. Gambaran kelam kekuasaan di Tiongkok itu terus berlangsung pada
masa kekuasaan partai Komunis Cina dibawah Mao yang memberlakukan
revolusi kebudayaan yang sangat represive.
Cina tetap cina, sejarah panjang jatuh bangunya bangsa ini tetapi
tidak melunturkan budayanya sehingga bangsa ini dapat survive dalam
situasi apapun termasuk larangan menunjukkan indentitas bangsanya di
Indonesia selama pemerintahan orde baru, bahkan mampu menguasai ekonomi
negeri ini. Terbiasa hidup dibawah tekanan inilah yang membuat etnis
Cina tidak menjadi manja. Walaupun sudah terputus hubungan dengan negeri
leluhurnya, cina tetap cina, menjadikan hari raya imlek sebagai
eksistensi jati diri. Tak pernah menuntut BLT atau menuntut pemerintah
berbuat sesuatu untuk etnisnya walaupun mereka telah menjadi warga
negara sama dengan yang lain. Budaya yang melekat itu menjadikan etnis
ini mampu membangun dunianya sendiri, sementara warga negara asli yang
sudah terbiasa dimanja oleh alam merasa tersisihkan. Artikel yang saya
mulai dari mitos terus berkembang menjadi budaya dan jati diri membuat
warna keragaman yang menonjol dan pemerintahpun mengakui eksistensi
budaya ini dalam budaya Indonesia, Imlekpun dinyatakan sebagai hari
libur nasional. Kegembiraan etnis cina, menjadi kegembiraan bangsa ini
juga, kegembiraan karena tidak ada kekangan oleh alasan politik.
Sumber : Kompasiana. Com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar