Sabtu, 21 Januari 2012

Mitos Tahun Baru Imlek


Menurut kisah  legenda, konon pada zaman dahulu kala, disebutlah Nian  yaitu  seekor raksasa pemakan manusia dari pegunungan (atau dalam ragam hikayat lainnya, dari bawah laut), yang muncul di akhir musim dingin untuk memakan hasil panen, ternak dan bahkan penduduk desa. Untuk melindungi diri mereka, para penduduk menaruh makanan di depan pintu mereka pada awal tahun. Dipercaya bahwa melakukan hal itu Nian akan memakan makanan yang telah mereka siapkan dan tidak akan menyerang orang atau mencuri ternak dan hasil Panen.  Pada suatu waktu, penduduk melihat bahwa Nian lari ketakutan setelah bertemu dengan seorang anak kecil yang mengenakan pakaian berwarna merah. Penduduk kemudian percaya bahwa Nian takut akan warna merah, sehingga setiap kali tahun baru akan datang, para penduduk akan menggantungkan lentera dan gulungan kertas merah di jendela dan pintu. Mereka juga menggunakan kembang api untuk menakuti Nian. Adat-adat pengurisan Nian ini kemudian berkempang menjadi perayaan Tahun Baru. Guo nian  yang berarti “menyambut tahun baru”, secara harafiah berarti “mengusir Nian”.  Sejak saat itu, Nian tidak pernah datang kembali ke desa. Nian pada akhirnya ditangkap oleh Hongjun Laozu, seorang Pendeta Tao dan Nian kemudian menjadi kendaraan Honjun Laozu.

Sejarah penanggalan tahun baru cina atau  Imlek, penggagasnya adalah Huang Di atau Kaisar Kuning yang memerintah (2698-2598 SM), beliau disamping seorang Raja Agung juga seorang Nabi dan sekarang disebut Bapak Ilmu Pengetahuan, karena pada jamannya paling banyak menciptakan penemuan-penemuan baru dan peradaban dunia dimulai pada jaman itu. Sistem penanggalan karya Huang Di ini, kemudian diterapkan oleh pendiri Dinasti Xia (2205-2197 SM) dengan Kaisar bernama Da Yu, yang juga merupakan salah satu Nabi dalam agama Khonghucu, namun ketika Dinas Xia jatuh diganti Dinasti Shang (1766-1122 SM), Dinasti Shang penanggalannya diganti dengan sistem penanggalan Shang. Ketika Dinasti Shang runtuh dan diganti oleh Dinasti Zhou (1122-475 SM) sistem penanggalan juga diganti dengan sistem penanggalan Zhou. Sejak Dinasti Zhou jatuh, terjadilah jaman perang berlangsung sekitar 254 tahun. Setelah itu baru mulailah berdiri Dinasti Qin (221-207 SM) dengan Kaisar bernama Qin Shi Huang dan sistem penanggalannya dirubah lagi. Jadi boleh dikatakan di daratan Tiongkok pernah memakai 4 macam sistem penanggalan dari jaman Dinasti Xia sampai dengan Dinasti Qin.

Adalah Khonghucu yang hidup pada tahun (551-479 SM), beliau hidup pada masa Dinasti Zhou (1122-475 SM). Waktu itu  beliau melihat masyarakat mayoritas hidup dari pertanian, maka sistem penanggalan Dinasti Xia-lah yang paling baik dan cocok, karena awal tahun barunya jatuh pada awal musim semi, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dalam pertanian. Saat itu Khonghucu menyarankan agar negara kembali menggunakan kalender Dinasti Xia, namun nasihat bijak itu tidak digubris pemerintahan waktu itu. Maka beliau bersabda dalam Sabda Suci XV : 11 berbunyi. “Pakailah penanggalan Dinasti Xia”. Dan sabda tersebut disosialisasikan oleh para murid-muridnya. Setelah runtuhnya Dinasti Qin, berdirilah Dinasti Han (206 SM- 220 M) oleh Kaisar Han Wu Di (140-86 SM), tepatnya tahun 104 SM, sistem penanggalan Xia diresmikan sebagai penanggalan Negara dan tetap digunakan hingga saat ini. Untuk menghormati Nabi Khonghucu, penentuan perhitungan tahun pertamanya dihitung sejak tahun kelahiran Nabi Khonghucu dan Agama Khonghucu ditetapkan sebagai agama Negara (state religion). Dalam kalender Gregorian, Tahun Baru Cina jatuh pada tanggal yang berbeda setiap tahunnya, antara tanggal 21 Januari sampai 20 Februari. Dalam kalender Tionghoa, titik balik mentari musim dingin harus terjadi di bulan 11, yang berarti Tahun Baru Cina biasanya jatuh pada bulan baru kedua setelah titik balik mentari musim dingin (dan kadang yang ketiga jika pada tahun itu ada bulan kabisat). Di budaya tradisional di Cina, lichun adalah waktu solar yang menandai dimulainya musim semi, yang terjadi sekitar 4 Februari.

Ajaran Konfusianisme atau Kong Hu Cu (juga: Kong Fu Tze atau Konfusius) dalam bahasa Tionghoa, istilah aslinya adalah Rujiao   yang berarti agama dari orang-orang yang lembut hati, terpelajar dan berbudi luhur. Khonghucu memang bukanlah pencipta agama ini melainkan beliau hanya menyempurnakan agama yang sudah ada jauh sebelum kelahirannya seperti apa yang beliau sabdakan: “Aku bukanlah pencipta melainkan Aku suka akan ajaran-ajaran kuno tersebut”. Meskipun orang kadang mengira bahwa Khonghucu adalah merupakan suatu pengajaran filsafat untuk meningkatkan moral dan menjaga etika manusia. Sebenarnya kalau orang mau memahami secara benar dan utuh tentang Ru Jiao atau Agama Khonghucu, maka orang akan tahu bahwa dalam agama Khonghucu (Ru Jiao) juga terdapat Ritual yang harus dilakukan oleh para penganutnya. Agama Khonghucu juga mengajarkan tentang bagaimana hubungan antar sesama manusia atau disebut “Ren Dao” dan bagaimana kita melakukan hubungan dengan Sang Khalik/Pencipta alam semesta (Tian Dao) yang disebut dengan istilah “Tian” atau “Shang Di”.

Ajaran falsafah ini diasaskan oleh Kong Hu Cu yang dilahirkan pada tahun 551 SM Chiang Tsai yang saat itu berusia 17 tahun. Seorang yang bijak sejak masih kecil dan terkenal dengan penyebaran ilmu-ilmu baru ketika berumur 32 tahun, Kong Hu Cu banyak menulis buku-buku moral, sejarah, kesusasteraan dan falsafah yang banyak diikuti oleh penganut ajaran ini. Ia meninggal dunia pada tahun 479 SM. Konfusianisme mementingkan akhlak yang mulia dengan menjaga hubungan antara manusia di langit dengan manusia di bumi dengan baik. Penganutnya diajar supaya tetap mengingat nenek moyang seolah-olah roh mereka hadir di dunia ini. Ajaran ini merupakan susunan falsafah dan etika yang mengajar bagaimana manusia bertingkah laku. Konfusius tidak menghalangi orang Tionghoa menyembah keramat dan penunggu tapi hanya yang patut disembah, bukan menyembah barang-barang keramat atau penunggu yang tidak patut disermbah, yang dipentingkan dalam ajarannya adalah bahwa setiap manusia perlu berusaha memperbaiki moral.

Di Indonesia selama 32 tahun (1966-1998), perayaan tahun baru Imlek dilarang dirayakan di depan umum. Dengan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, di antaranya adalah Tahun Baru Imlek. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia baru kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek pada tahun 2000 ketika Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mencabut Inpres Nomor 14/1967. Kemudian Presiden Megawati Soekarnoputri menindaklanjutinya dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 19/2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Tahun Baru Imlek sebagai Hari Libur Nasional. Mulai tahun 2003, Tahun Baru Imlek resmi dinyatakan sebagai salah satu hari libur nasional.

Tahun baru imlek selalu diikiuti oleh pertunjukan tari barongsai, namun apakah tarian itu terkait dengan mitos mahluk raksasa Nian diatas, agaknya tidak demikian . Kesenian Barongsai mulai populer di zaman dinasti Selatan-Utara (Nan Bei) tahun 420-589 Masehi. Kala itu pasukan dari raja Song Wen Di kewalahan menghadapi serangan pasukan gajah raja Fan Yang dari negeri Lin Yi. Seorang panglima perang bernama Zhong Que membuat tiruan boneka singa untuk mengusir pasukan raja Fan itu. Ternyata upaya itu sukses hingga akhirnya tarian barongsai melegenda. Namun bukan berarti  masa keemasan pemerintahan meninggalkan jejak budaya dan kesenian yang melekat pada bangsa Cina. Dinasti Ming merupakan sebuah dinasti yang sangat berperan dalam sejarah Tiongkok, rintangan-rintangan besar terhadap perkembangan peradaban terbentuk di masa ini. Pada masa itu, para wanita dipaksa mengecilkan kakinya dengan cara dibalut dengan paksa, mempraktikkan falsafat Confusius secara menggila yang  menyimpang jauh dari budaya yang diwariskan oleh para dewa. Sida-sida (kasim) diberlakukan dalam istana, menjalankan peraturan takhayul, menciptakan sistem spionase yang menelan biaya besar, untuk mengintervensi istana kerajaan, mengontrol pejabat dan menindas rakyat kecil. Gambaran kelam kekuasaan di Tiongkok itu terus berlangsung pada masa kekuasaan partai Komunis Cina dibawah Mao yang memberlakukan revolusi kebudayaan  yang sangat represive.

Cina tetap cina,  sejarah panjang jatuh bangunya bangsa ini tetapi  tidak melunturkan budayanya sehingga bangsa ini dapat survive dalam situasi apapun termasuk larangan menunjukkan indentitas bangsanya di Indonesia selama pemerintahan orde baru, bahkan mampu menguasai ekonomi negeri ini.  Terbiasa hidup dibawah tekanan inilah yang membuat etnis Cina tidak menjadi manja. Walaupun sudah terputus hubungan dengan negeri leluhurnya, cina tetap cina, menjadikan hari raya imlek sebagai eksistensi jati diri. Tak pernah menuntut BLT atau menuntut pemerintah berbuat sesuatu untuk etnisnya walaupun mereka telah menjadi warga negara sama dengan yang lain. Budaya yang melekat itu menjadikan etnis ini mampu membangun dunianya sendiri, sementara warga negara asli yang sudah terbiasa dimanja oleh alam merasa tersisihkan.  Artikel yang saya mulai dari mitos terus berkembang menjadi budaya dan jati diri membuat warna keragaman yang menonjol dan pemerintahpun mengakui eksistensi budaya ini dalam budaya Indonesia, Imlekpun dinyatakan sebagai hari libur nasional. Kegembiraan etnis cina, menjadi kegembiraan bangsa ini juga, kegembiraan karena tidak ada kekangan oleh alasan politik.

Sumber : Kompasiana. Com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar